Sebagai akibat dari penyerapan DevOps yang cukup lambat di tahun 2016 ini, dunia IT masih akan sering di warnai oleh kegagalan sistem. Dalam mengeluarkan fitur baru atau aplikasi baru pada sistem operasional yang sudah berjalan, masih akan banyak ditemui ketidak sesuaian antara lingkungan pengembang dengan lingkungan operasional (live system). Hal ini tentunya akan menyebabkan kebutuhan solusi disaster recovery di Indonesia akan semakin meningkat.

Solusi Disaster Recovery Indonesia Akan Semakin Beragam

Dengan semakin meningkatnya intensitas perubahan terhadap perkembangan dunia teknologi digital yang mempengaruhi bisnis dan ekonomi, perusahaan dan instansi pemerintah di Indonesia akan semakin sering melakukan inovasi dan terobosan baru. Namun jika ini tidak dilaksanakan dengan menganut paham DevOps maka kejadian kegagalan sistem akan lebih sering terjadi.

Menjawab tantangan tersebut, perusahaan besar harus memiliki solusi disaster recovery yang dapat di andalkan. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa 1 jam downtime dapat mengakibatkan kerugian milyaran bahakan puluhan milyar. Oleh karena itu, jika downtime bukan pilihan maka solusi disaster recovery merupakan pilihan terbaik.

Dengan tersedianya pencadangan sistem dan data (bukan backup file saja) maka perusahaan dapat mengalihkan operasional sementara pada situs disaster recovery. Ini merupakan salah satu manfaat dari disaster recovery, sehingga dapat mengurangi downtime secara signifikan.

Adapun sistem layanan disaster recovery dapat beragam jenisnya. Mulai dari on-premis yang merupakan server fisik yang dimiliki perusahaan yang berada pada sebuah data center yang kuat dan aman hingga DRaaS (Disaster Recovery as a Services).

DRaaS sebetulnya merupakan solusi yang sama dengan disaster recovery on premise, bedanya adalah pada sistem cloud. Namun harap kita ingat, sistem komputasi awan tetap saja berada pada sebuah data center on-premise (data center fisik). Dalam keanekaragaman tersebut, yang perlu kita perhatikan adalah seberapa siap dan seberapa cepat sistem cadangan dapat digunakan secara penuh jika sistem utama anda tidak berjalan ?

Menghitung Untung Ruginya Memakai atau Tidak Memakai Solusi Disaster Recovery

Kita dapat mengukur kehandalan suatu sistem disaster recovery dari berapa banyak potensi downtime yang dapat di handle oleh solusi tersebut. Misal, kegagalan sistem IT di perusahaan anda selama setahun adalah 12 jam. Dengan pengalihan ke pencadangan sistem (Disaster Recovery) anda membutuhkan waktu 15 – 30 menit (umumnya 15 menit) untuk dapat berjalan. Mari kita anggap 30 menit adalah waktu yang dibutuhkan oleh agent disaster recovery untuk mengalihkan operasional secara penuh.

Dengan solusi disaster recovery, artinya downtime akan turun 50% (1 jam – 30 menit). Sehingga, jika downtime aplikasi kritis anda per tahun terhitung 12 jam maka downtime anda menjadi 6 jam saja per tahun.

Dalam hitungan eknomis, biaya downtime untuk sistem atau aplikasi kritis adalah Rp. 4 Milyar per jam untuk perusahaan besar (referensi dari blog gartner). Maka biaya downtime perusahaan anda per tahun adalah Rp. 48 milyar, belum lagi dengan biaya pemulihan dan resiko pelanggan yang lari ke pesaing bisnis anda. Biaya downtime tersebut belum termasuk biaya pemulihan.

Dengan solusi disaster recovery tentunya akan menurun 50% nya bahkan lebih. Penurunan tersebut dapat anda ambil 50% nya sebagai biaya solusi disaster recovery baik menggunakan on-premise pada sebuah situs data center yang kuat maupun dengan sistem cloud atau DRaaS.

Kegagalan Sistem Masih Menghantui Pemilik Perusahaan di Indonesia

Kegagalan sistem kebanyakan berasal dari faktor manusia. Seperti kesalahan konfigurasi, sistem yang berbenturan karena perbedaan versi, dan sebagainya. Hal ini dapat mengakibatkan hal negatif pada perusahaan seperti sebagai berikut:

  • Menghambat inovasi untuk kemajuan usaha. Dengan bayangan kegagalan sistem yang semakin besar menghantui, pihak manajemen akan selalu berusaha menahan setiap ide inovasi. Sementara perusahaan sedang berada pada perlombaan digitalisasi bisnis yang dapat memberikan kemudahan ke pelanggan dan kecepatan dalam transaksi. Dan ini artinya akan menghambat kemampuan perusahaan dalam meningkatkan daya saing.
  • Menghambat pertumbuhan usaha. Perusahaan akan semakin sulit melakukan terobosan baru yang harus dilakukan ke pasar. Pada titik ini, pihak manajemen akan bingung jika tidak memahami manfaat solusi disaster recovery, dan akan lebih untung jika mereka mau memahami apa itu DevOps.
  • Manajemen akan semakin sulit mengambil keputusan. Ini akan sangat berbeda situasinya, jika perusahaan telah memiliki solusi disaster recovery. Keputusan untuk merubah atau memodifikasi aplikasi untuk peningkatkan kinerja operasional internal dan hal baru untuk pelanggan akan lebih cepat diputuskan tanpa bayangan kegagalan sistem yang menghantui.

Untuk mengetahui potensi kerugian downtime anda dapat menghitung: ([Omset Per Tahun] / [Jumlah Jam Operasional per Tahun]) x [Jumlah Downtime dalam satuan Jam]

Jika omset anda per tahun adalah Rp. 500 milyar, dan downtime anda selama jam operasional mencapai 12 jam, maka biaya downtime anda adalah sebesar Rp. 2.2 Milyar. Jika omset Rp. 1 Triliun maka potensi kerugian downtime anda adalah Rp. 4.4 milyar. Artinya perusahaan skala apapun harus siapkan sebesar 1% hingga 2.5% dari laba operasional untuk mengatasi kerugian downtime.

Oleh karena itu, setiap perusahaan besar dan instansi pemerintahan sudah selayaknya memiliki solusi disaster recovery di tempat. Demikian untuk perusahaan menengah yang memiliki omset puluhan milyar setiap bulannya.

Kegagalan sistem akan lebih diwarnai dengan upload modul baru pada sebuah lingkungan infrastruktur IT. Hal ini karena pola kerja DevOps belum banyak tersedia pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Sebuah framework dibutuhkan untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi, untuk lebih dari sekedar mempertahankan bisnis.

Lantas apa saja kriteria solusi disaster recovery yang dapat di andalkan ? silahkan baca artikel mengenai : Cara Memilih Solusi Disaster Recovery.

 

Pin It on Pinterest

Share This